Sosok Prabu Jayanagara Raja Ke-2 Majapahit
45news.id - Jayanagara / Kala Gemet (lahir: 1294 - wafat: 1328)
adalah maharaja kedua kemaharajaan Majapahit yang memerintah pada tahun
1309-1328, dengan bergelar abhiseka Sri Maharaja Wiralandagopala Sri
Sundarapandya Dewa Adhiswara.
Pemerintahan Jayanagara terkenal sebagai masa
pergolakan dalam sejarah awal kekaisaran Majapahit. Menurut kitab Pararaton, ia
sendiri meninggal akibat dibunuh oleh Ra Tanca, tabib istananya.Prabu
Jayanegara didharmakan di Candi Bajang Ratu Trowulan Mojokerto Jawa Timur.
Asal-Usul
Menurut Pararaton, nama asli Jayanagara dalah
Kalagemet putra Wijaya dan Dara Petak. Ibunya ini berasal dari Kerajaan
Dharmasraya di Pulau Sumatra. Ia dibawa Kebo Anabrang ke tanah Jawa sepuluh
hari setelah pengusiran pasukan Mongol oleh pihak Majapahit.
Wijaya yang sebelumnya telah memiliki dua orang
istri putri Kertanagara, kemudian menjadikan Dara Petak sebagai istri Tinuheng
Pura, atau "istri yang dituakan di istana".
Menurut Pararaton, pengusiran pasukan Mongol dan
berdirinya Kerajaan Majapahit terjadi pada tahun 1294. Sedangkan menurut kronik
Cina dari dinasti Yuan, pasukan yang dipimpin oleh Ike Mese itu meninggalkan
Jawa tanggal 24 April 1293.
Naskah Nagarakretagama juga menyebut angka tahun
1293. Sehingga, jika berita-berita di atas dipadukan, maka kedatangan Kebo
Anabrang dan Dara Petak dapat diperkirakan terjadi pada tanggal 4 Mei 1293, dan
kelahiran Jayanagara terjadi dalam tahun 1294.
Nama Dara Petak tidak dijumpai dalam Nagarakretagama
dan prasasti-prasasti peninggalan Majapahit. Menurut Nagarakretagama, Wijaya
bukan hanya menikahi dua, tetapi empat orang putri Kertanagara, yaitu
Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri.
Sedangkan Jayanagara dilahirkan dari istri yang
bernama Indreswari. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Indreswari adalah nama
lain Dara Petak.
Naik Takhta, Raja Muda
Nagarakretagama menyebutkan Jayanagara diangkat
sebagai yuwaraja atau raja muda di Kadiri atau Daha pada tahun 1295. Nama
Jayanagara juga muncul dalam prasasti Penanggungan tahun 1296 sebagai putra
mahkota. Mengingat Raden Wijaya menikahi Dara Petak pada tahun 1293, maka
Jayanagara dapat dipastikan masih sangat kecil ketika diangkat sebagai raja
muda. Tentu saja pemerintahannya diwakili oleh Lembu Sora yang disebutkan dalam
prasasti Pananggungan menjabat sebagai patih Daha.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui pula bahwa
Jayanagara adalah nama asli sejak kecil atau Garbhopati, bukan nama gelar atau
abhiseka. Sementara nama Kalagemet yang diperkenalkan Pararaton jelas bernada
ejekan, karena nama tersebut bermakna "jahat" dan "lemah", hal
itu dikarenakan kepribadian Jayanagara yang dipenuhi prilaku amoral namun lemah
sebagai penguasa sehingga banyak pemberontakan yang timbul dalam masa
pemerintahannya.
Raja Majapahit
Jayanagara naik takhta menjadi raja Majapahit
menggantikan ayahnya yang menurut Nagarakretagama meninggal dunia tahun 1309.
Dari Piagam Sidateka yang bertarikh 1323, Jayanagara menetapkan susunan
mahamantri katrini dalam membantu pemerintahannya, yaitu sebagai berikut:
1. Rakryan
Mahamantri Hino: Dyah Sri Rangganata
2. Rakryan
Mahamantri Sirikan: Dyah Kameswara
3. Rakryan
Mahamantri Halu: Dyah Wiswanata
Pemberontakan yang Terjadi
Menurut Pararaton, pemerintahan Jayanagara diwarnai
banyak pemberontakan oleh para pengikut ayahnya. Hal ini disebabkan karena
Jayanagara adalah raja berdarah campuran Jawa-Melayu, bukan keturunan
Kertanagara murni.
Pemberontakan pertama terjadi ketika Jayanagara naik
takhta, yaitu dilakukan oleh Ranggalawe pada tahun 1295 dan kemudian Lembu Sora
pada tahun 1300. Dalam hal ini pengarang Pararaton kurang teliti karena
Jayanagara baru menjadi raja pada tahun 1309.
Mungkin yang benar ialah, pemberontakan Ranggalawe
terjadi ketika Jayanagara diangkat sebagai raja muda atau putra mahkota.
Mungkin pula pemberontakan Ranggalawe sebenarnya terjadi pada tahun 1309.
Pararaton juga memberitakan pemberontakan Juru
Demung tahun 1313, Gajah Biru tahun 1314, Mandana dan Pawagal tahun 1316, serta
Ra Semi tahun 1318. Akan tetapi, menurut Kidung Sorandaka, Juru Demung dan
Gajah Biru mati bersama Lembu Sora tahun 1300, sedangkan Mandana, Pawagal, dan
Ra Semi mati bersama Nambi tahun 1316.
Berita pemberontakan Nambi tahun 1316 dalam
Pararaton juga disebutkan dalam Nagarakretagama, dan diuraikan panjang lebar
dalam Kidung Sorandaka. Menurut Nagarakretagama, pemberontakan Nambi tersebut
dipadamkan langsung oleh Jayanagara sendiri.
Di antara pemberontakan-pemberontakan yang
diberitakan Pararaton, yang paling berbahaya adalah pemberontakan Ra Kuti tahun
1319. Ibu kota Majapahit bahkan berhasil direbut kaum pemberontak, sedangkan
Jayanagara sekeluarga terpaksa mengungsi ke desa Badander dikawal para prajurit
bhayangkari yang dipimpin oleh Gajah Mada.
Kemudian, Gajah Mada kembali ke ibu kota menyusun
kekuatan. Berkat kerja sama antara para pejabat dan rakyat ibu kota, Kelompok
Ra Kuti dapat dihancurkan.
Sewaktu menjadi raja, Jayanagara masih berusia muda
sehingga dimanfaatkan orang-orang yang merasa tidak puas untuk memberontak.
Mereka merasa tidak puas terhadap kebijakan Raja terdahulu, yaitu Raden Wijaya,
yang menurut ukuran mereka tidak memberikan kedudukan yang mereka inginkan,
dianggap tidak sepadan dengan jasanya sewaktu berjuang bersama Raden Wijaya.
Maka, timbullah beberapa pemberontakan pada masa Raja Jayanagara, diantaranya
adalah:
1.
Pemberontakan Ranggalawe (1309) => Ranggalawe sangat kecewa karena
pengangkatan Nambi sebagai Patih di Istana Majapahit, dia hanya diberikan
kedudukan yang lebih rendah sebagai penguasa wilayah Tuban. Pemberontakannya
dapat segera dihancurkan dan Ranggalawe dibunuh oleh Kebo Anabrang di
pertempuran Sungai Tambak Beras.
2.
Pemberontakan Lembu Sora (1311) => Lembu Sora memberontak karena
mendapat hasutan dari seorang pejabat Majapahit yang bernama Mahapati. Mahapati
sebenarnya juga musuh dalam selimut bagi Raja Jayanagara, yang selalu membuat
intrik dan konspirasi dalam Istana. Pemberontakan Lembu Sora dapat digagalkan
pihak Istana yang dipimpin oleh Nambi.
3.
Pemberontakan Nambi (1316) => Nambi memberontak karena dianggap akan
menjadi raja, meskipun Nambi sudah diberi kedudukan yang tinggi sebagai Patih
istana. Oleh hasutan 'Mahapati', Jayanegara kemudian menyerang Nambi. Nambi
bersama Ra Semi sempat membuat pertahanan di Pajarakan, tetapi akhirnya dapat
dihancurkan juga oleh Jayanegara.
4.
Pemberontakan Kuti (1319) => Pemberontakan para Dharmaputra yang
dipimpin Ra Kuti berhasil menduduki istana kerajaan sehingga Raja Jayanagara
terpaksa meninggalkan Istana. Oleh para pasukan 'Bhayangkari' di bawah pimpinan
Gajah Mada, raja disembunyikan di tempat yang sangat dirahasiakan yaitu di desa
Badander. Atas inisiatif dan usaha dari Gajah Mada maka akhirnya pihak kerajaan
dapat menyusun kekuatan dan merebut kembali istana. Akhirnya raja Jayanagara
dapat kembali lagi ke istana.
Kematian Jayanagara
Pada tahun 1328 M, sembilan tahun setelah
pemberontakan Ra Kuti, Jayanagara mati di tangan Ra Tanca, seorang pelantun
syair yang sering diminta menghibur sang prabu. Cerita pembunuhan itu bermula
pada 1328, saat Tanca yang juga seorang tabib diminta mengoperasi bisul yang
diderita Jayanagara. Dalam operasi bisul yang ketiga kalinya itu Tanca menikam
Jayanagara di tempat tidurnya. Gajah Mada yang menunggu di samping raja segera
bangkit menusuk Tanca dan mati seketika itu juga. Namun peristiwa pembunuhan
itu masih simpang siur.
Ada beberapa versi sejarah tentang siapa sang
pembunuh dan apa motifnya.
1. Versi
pertama dari Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, menyebutkan
bahwa Jayanagara dilanda rasa takut kehilangan takhtanya sehingga ia pun
melarang kedua adiknya, yaitu Dyah Gitarja (Tribhuwana Tunggadewi) dan Dyah
Wiyat (Rajadewi Maharajasa) menikah karena khawatir iparnya bisa menjadi
saingan.
Bahkan muncul desas-desus kalau kedua putri yang
lahir dari Gayatri itu hendak dinikahi oleh Jayanagara sendiri. Desas-desus itu
disampaikan Ra Tanca kepada Gajah Mada yang saat itu sudah menjadi abdi
kesayangan Jayanagara. Ra Tanca juga menceritakan tentang istrinya yang
diganggu oleh Jayanagara. Namun Gajah Mada seolah tidak peduli pada laporan
tersebut dan tidak mengambil tindakan apa-apa. Tanca pun menunggu kesempatan
yang baik. Kebetulan Raja Jayanagara yang menderita bisul menghendaki
pembedahan kepadanya. Momen mengobati sang raja pun digunakan Tanca sebagai
jalan untuk membunuhnya di tempat tidur.
2. Versi kedua lain menurut arkeolog Belanda N.J.
Krom dalam Hindoe-Javaansche Geschiedenis, sebagaimana dikutip Parakitri T.
Simbolon dalam Menjadi Indonesia, istri Tanca menyebarkan berita bahwa dirinya
dicabuli Jayanagara. Mendengar hal itu Gajah Mada malah balik menuduh dan
mengadukan Tanca menebarkan fitnah.
3. Versi lain yang lebih menyentak, tulis Parakitri
T. Simbolon, menurut N.J. Krom lagi, dalam tradisi Bali disebutkan bahwa justru
Gajah Mada yang menjadi otak pembunuhan tersebut. Konon isu Raja Jayanagara
mencabuli istri Ra Tanca adalah siasat dari Gajah Mada.
Dan Ra Tanca hanya diperalat oleh Gajah Mada untuk
membunuh Jayanagara. Slamet Muljana juga menafsirkan bahwa Gajah Mada yang pada
hakikatnya tidak suka pada sikap Jayanagara, menggunakan Tanca sebagai alat
untuk memusnahkan sang prabu. Untuk menyelimuti perbuatannya, dia segera
membunuh Tanca tanpa proses pengadilan.
4. Versi
terakhir diutarakan oleh Muhammad Yamin dalam Gajah Mada Pahlawan Persatuan
Nusantara, menyebut bahwa Tanca terus-menerus merasa tak senang pada raja atas
kejadian yang menimpa Kuti, kawan Tanca sesama dharmaputera. Dia menulis bahwa
awal sengketa berasal dari mulut seorang perempuan, yaitu istri Darmaputera Ra
Tanca.
Istri ini mengeluarkan perkataan bahwa dia mendapat
gangguan dari Sang Prabu. Kabar angin menimbulkan kegemparan dalam keraton dan
di pusat pemerintahahan.” Gajah Mada kemudian memeriksa Tanca. Namun, waktu
pemeriksaan berjalan, Jayanagara sakit dan meminta Tanca membedah bisulnya.
Kesempatan itu digunakan Tanca untuk melepaskan dendamnya membunuh raja.
Yamin, pengagum dan penemu wajah Gajah Mada, membela
Gajah Mada menulis: “Di belakang lakon yang menyedihkan hati ini, terbayang
pula suatu tuduhan kepada Gajah Mada bahwa dialah yang mendorong Ra Tanca
berlaku demikian, karena kabarnya Sang Prabu salah lihat dan salah raba kepada
istri Gajah Mada yang teguh setia itu. Namun, tuduhan ini tak beralasan dan
berlawanan dengan kesetian hatinya kepada Seri Mahkota.
5. Kematian jayanegara disebabkan karena meminum
racun yang dibuat oleh tabib ra tanca dan pembantunya. Hal itu dilakukan sang
tabib karena adanya hasutan dari para pemberontak.
Menurut Pararaton, Jayanagara didharmakan dalam
candi Srenggapura di Kapopongan dengan arca di Antawulan, gapura paduraksa
Bajang Ratu kemungkinan besar adalah gapura yang tersisa dari kompleks
Srenggapura.
Sedangkan menurut Nagarakretagama ia dimakamkan di
dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Jayanagara juga dicandikan di Silapetak
dan Bubat sebagai Wisnu serta di Sukalila sebagai Buddha jelmaan Amoghasiddhi.
Jayanagara meninggal dunia tanpa memiliki keturunan.
Oleh karena itu, takhta Majapahit diteruskan oleh Ibu Suri Gayatri sebagai
satu-satunya istri Raden Wijaya yang masih hidup. Namun karena Gayatri telah
menjadi seorang Bhiksuni, kekuasaan Majapahit jatuh pada putri sulungnya, yaitu
Dyah Gitarja yang bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi. (Na)
Sosok Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi , Raja Ke 3
Majapahit
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga
dan Rajaputri/Ratu Majapahit yang memerintah tahun 1328–1351. Dia adalah adik
tiri Prabu Jayanegara. Dari prasasti Singasari (1351) diketahui gelar
abhisekanya ialah Sri Tribhuwana Wijayatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Silsilah
Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi (atau
disingkat Tribhuwana) adalah Dyah Gitarja. Ia merupakan putri dari Raden Wijaya
dan Gayatri. Memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama
Jayanagara. Pada masa pemerintahan Jayanagara (1309–1328) ia diangkat sebagai
penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan.
Menurut Pararaton, Jayanagara merasa takut takhtanya
terancam, sehingga ia melarang kedua adiknya menikah. Setelah Jayanagara
meninggal tahun 1328, para ksatriya pun berdatangan melamar kedua putri.
Akhirnya, setelah melalui suatu sayembara, diperoleh dua orang pria, yaitu
"Cakradhara" sebagai suami Dyah Gitarja, dan "Kudamerta"
sebagai suami Dyah Wiyat.
Cakradhara bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel. Dari
perkawinan itu lahir Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja. Hayam Wuruk kemudian
diangkat sebagai yuwaraja bergelar Bhre Kahuripan atau Bhre Jiwana, sedangkan
Dyah Nertaja sebagai Bhre Pajang.
Pemerintahan
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana yang merupakan
putri Raden Wijaya naik takhta atas perintah ibunya Gayatri (Rajapatni) tahun
1329 menggantikan Jayanagara yang meninggal tahun 1328. Ketika Gayatri
meninggal dunia tahun 1350, pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula.
Berita tersebut menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana
naik takhta mewakili Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu
Kertanagara, tetapi ia satu-satunya yang masih hidup di antara istri-istri
Raden Wijaya sehingga ia dapat mewarisi takhta Jayanagara yang meninggal tanpa
keturunan. Tetapi saat itu Gayatri telah menjadi pendeta Buddha, sehingga
pemerintahannya pun diwakili putrinya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.
Pemberontakan Sadeng dan Keta
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana memerintah
didampingi suaminya, Kertawardhana. Pada tahun 1331, Tribhuwana menumpas
pemberontakan daerah Sadeng dan Keta. Menurut Pararaton terjadi persaingan
antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan
Sadeng-Keta. Maka, Tribhuwana pun memutuskan dirinya sendiri sebagai panglima
perang untuk menumpas pemberontakan Sadeng-Keta didampingi Gajah Mada, Ra
Kembar dan sepupunya, Adityawarman yang pada saat itu menjabat sebagai
Wreddhamantri, atau perdana menteri.
Akhir hayat
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana Wijayatunggadewi
diperkirakan turun takhta tahun 1350 bersamaan dengan kematian Gayatri. Namun,
prasasti Singasari menyebutkan bahwa informasi tersebut kurang tepat karena ia
masih memerintah hingga tahun 1351.
Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang
tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang
beranggotakan keluarga kerajaan. Adapun yang menjadi raja Majapahit selanjutnya
adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk.
Tidak diketahui dengan pasti kapan tahun kematian
Tribhuwana. Pararaton hanya memberitakan Bhre Kahuripan tersebut meninggal
dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih pada tahun 1371.
Menurut Pararaton, Tribhuwanatunggadewi didharmakan
dalam candi Pantarapura yang terletak di desa Panggih. Sementara suaminya,
yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386 dan didharmakan di candi
Sarwa Jayapurwa, yang terletak di desa Japan. (Na)
Belum ada Komentar untuk "Sosok Prabu Jayanagara Raja Ke-2 Majapahit"
Posting Komentar