Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar
Dewantara;
MENJADI
MANUSIA YANG MERDEKA
Ki
Hadjar Dewantara (Yogyakarta, 2 Mei 1889 - 26 April 1959) dikenal sebagai tokoh
pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Nama
aslinya adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, Ki Hajar mendirikan perguruan
Taman Siswa yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh
pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Pendidikan
yang beliau tempuh dimulai dari, Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda),
dilanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) tetapi tidak tamat, dan
kemudian bersekolah lagi di Europeesche Akte, Belanda. Karir yang
ditempuh pun bukan main-main, ia pernah menjadi wartawandi berbagai surat kabar
kala itu, antara lain, Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia,
Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Dia juga tercatat sebagai pendiri
Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa), 3
Juli 1922. Dan menjabat sebagai Menteri Pengajaran Kabinet Presidensial, 19
Agustus 1945 - 14 November 1945. Organisasi yang pernah beliau ikuti yaitu
Boedi Oetomo, 1908. Beliau juga adalah pendiri Indische Partij (partai politik
pertama beraliran nasionalisme Indonesia), 25 Desember 1912.
Dengan peranan yang berharga di bidang
pendidikan, politik, budaya dan sosial kemasyarakatan, wajar saja jika banyak
penghargaan yang beliau terima, antara lain, Bapak Pendidikan Nasional, hari
kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, Doctor Honoris Causa
dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957, dan penganugerahan gelar Pahlawan
Pergerakan Nasional (Surat Keputusan Presiden No. 305 Tahun 1959, tanggal 28
November 1959). Tulisan Ki Hajar yang terkenal adalah "Seandainya Aku
Seorang Belanda" (judul asli : Als ik eens Nederlander was) yang
pernah dimuat dalam surat kabar de Expres milik Douwes Dekker tahun
1913. Artikel tersebut ditulis dalam konteks rencana pemerintah Belanda untuk
mengumpulkan sumbangan dari Indonesia. Ki Hajar Dewantara meninggal dunia pada
26 April 1959 dan dimakamkan di Wijayabrata, Yogyakarta. Tanggal lahirnya, 2
Mei dijadikan Hari Pendidikan Nasional di Indonesia dan menjadi Bapak
Pendidikan Indonesia. Nama Ki Hajar juga diabadikan sebagai nama kapal perang
Indonesia "KRI Ki Hajar Dewantara". Selain itu, perguruan Taman Siswa
yang ia dirikan telah memiliki sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai
perguruan tinggi. Semboyan dalam pendidikan yang beliau pakai adalah "Tut Wuri Handayani". Semboyan ini berasal
dari ungkapan aslinya "ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut
wuri handayani". Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan
kita.
Ki
Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi
kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta,
karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua
daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya
saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau
mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya
akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan
sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang
memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan
menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Ki
Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan
sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita
satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang
berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi
bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi
yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri
untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi
pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik
pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figur keteladanan, baru kemudian sebagai
fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri
memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan.
Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang
keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia,
mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan
perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu
mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Ki
Hajar juga mengembangkan konsep pemahaman Trihayu. Konsep Trihayu terdiri dari
tiga tataran, yaitu pertama hamemayu hayuning sarira, kedua hamemayu hayuning
bangsa, dan ketiga hamemayu hayuning bawana. Arti hamemayu hayuning adalah
menghiasi keindahan. Sarira adalah diri, sebagai manusia. Hamemayu hayuning
sarira adalah menghiasi keindahan diri sebagai manusia. Bukan keindahan rupa
diri, tapi keindahan rasa, cipta dan karsa. Menghiasi keindahan diri dengan
ilmu dan elmu, dengan sinau-learning- dan laku -doing- yang membawa pada
kesadaran tertinggi akan hidup dan kehidupan, tentang apa itu hidup, untuk apa
hidup dan apa tujuan hidup. Hamemayu ayuning bangsa, adalah menghiasi keindahan
bangsa. Bangsa sebagai sebuah keluarga besar yang menyatu bersinergi seperti
tubuh dengan seluruh kelengkapan anggota tubuh sebagai satu kesatuan gerak
hidup yang terkoordinasi. Saling tolong menolong, saling melengkapi, saling
berkarya dengan tugas, peran dan fungsi kemanusiaannya dalam satu ikatan
kepribadian budaya.
Hamemayu
hayuning bawana. Adalah menghiasi keindahan dunia. Dunia dengan alam beserta
segala isinya di mana setiap manusia yang berbangsa-bangsa tinggal dan hidup
bersama. Kesadaran untuk membangun hubungan saling menghargai antara manusia
dengan alam semesta, baik makhluk hidup maupun benda mati. Memanfaatkan alam
dengan tetap melestarikan alam dengan segala ekosistemnya. Dengan konsep
Trihayu tersebut sesungguhnya setiap manusia bisa menjadi manusia utuh yang
memiliki kesadaran kritis -critical consciousness- untuk bangkit melakukan
pembebasan diri dan merdeka dari ketertindasan. Untuk itulah, selama setiap
manusia masih memiliki kesadaran magis - magical consciousness- dan
kesadaran naif - naival consciousness-, mereka tidak akan pernah bisa
menjadi manusia merdeka, manusia yang utuh terbebas dari ketertindasan.
Oleh
karena itu setiap manusia harus menjadi manusia yang merdeka. Merdeka baik
secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibingkai
oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti
keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi,
tanggung jawab dan disiplin dalam berkemanusiaan.
(*Dari
berbagai sumber)
Belum ada Komentar untuk "Ki Hadjar Dewantara"
Posting Komentar