Kasus Guru Petal Rambut Siswi, YLBH : langgar UU Perlindungan Anak
Lamongan, 45news.id - Sebanyak
11 siswi berhijab di SMPN 1 Sukodadi Lamongan menjadi korban petal oleh gurunya
gegara tidak pakai ciput (dalaman hijab). Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI-LBH) Surabaya turut mengecam aksi
pembotakan rambut siswi tersebut.
"YLBHI-LBH Surabaya mengecam keras aksi pembotakan
rambut depan belasan siswi kelas IX SMPN 1 Sukodadi Lamongan yang dilakukan
oknum guru EN dengan mesin cukur karena tidak memakai ciput," ujar Kepala
Bidang Advokasi dan Kampanye LBH Surabaya Habibus Shalihin, Kamis (31/08/2023).
Habibus menyoroti sanksi terhadap oknum guru EN yang hanya
berupa pembinaan non-job dari Dinas Pendidikan Lamongan dengan cara ditarik ke
Diknas dengan status tanpa jabatan dan tidak diperbolehkan mengajar di SMPN 1
Sukodadi hingga waktu yang tidak ditentukan.
"Namun, hal ini tak menutup kemungkinan EN dapat
kembali mengajar di sekolah itu apabila para korban menerima kembali
kehadirannya," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima
Mengenai kasus ini, YLBHI-LBH menekankan perlunya
pencermatan tentang perwujudan prinsip The Right to Survival and Development
atau hak untuk hidup dan berkembang bagi anak.
Menurutnya, hak setiap anak dalam mendapatkan pendidikan
termasuk terhindar dari tindak kekerasan fisik maupun psikis yang berpotensi
dilakukan oleh elemen-elemen di lingkungan satuan pendidikan. Baik oleh
pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, maupun pihak lain.
"Aksi pembotakan terhadap belasan siswi di SMPN 1
Sukodadi Lamongan ini menunjukkan kurangnya upaya perlindungan anak dari kekerasan
fisik dan psikis. Padahal seharusnya lingkungan sekolah menjadi ruang aman bagi
anak untuk mendapat penikmatan atas hak pendidikan," ujarnya.
Habibus juga menekankan bahwa tindakan guru EN yang secara
paksa melakukan aksi pembotakan rambut bagian depan siswi-siswinya termasuk ke
dalam bentuk kekerasan. Kasus itu, menurutnya juga mencoreng martabat
kemanusiaan anak.
"Bukan tidak mungkin EN telah melanggar Pasal 76 C
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bahwa setiap orang dilarang menempatkan,
membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan
terhadap anak," kata Habibus.
Untuk itu YLBHI-LBH Surabaya mendorong pemerintah melakukan
tindakan sesuai Pasal 59 UU 35/2014 dalam hal memberikan perlindungan khusus
kepada anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis. Salah satunya dengan
menegakkan sanksi.
"Sehubungan dengan hal itu maka sanksi yang dapat
dikenakan terhadap guru itu mengacu pada Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014 dengan
ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda
paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)," ujarnya.
Di sisi lain, atribut ciput bagi siswi SMP berjilbab tidak
termasuk pakaian seragam sekolah bagi Peserta Didik SMP berdasarkan Peraturan
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) nomor
50/2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Siswa SMP.
Karena itu Habibus menilai bahwa pemaksaan penggunaan ciput
oleh guru EN juga termasuk kategori tindakan intoleransi sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b angka 1 Permendikbudristek 46/2023.
"Karena guru bersangkutan telah memaksa peserta
didiknya untuk mengenakan pakaian atau aksesoris yang tidak termasuk seragam
sekolah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan," kata Habibus.
(yog)
Belum ada Komentar untuk "Kasus Guru Petal Rambut Siswi, YLBH : langgar UU Perlindungan Anak"
Posting Komentar