Catatan Kritis BPJS Watch Jatim Atas RUU Kesehatan
Sidoarjo, 45news.id - Pembahasan
RUU Kesehatan tampaknya akan memunculkan perdebatan kritis yang belum akan usai
saat ini. Draft RUU Kesehatan yang saat ini sudah dilakukan
pembahasan di DPR perlu membuka ruang seluas-luasnya partisipasi publik untuk
memberikan saran, masukan dan koreksi-koreksi. Agar nantinya RUU Kesehatan
mampu memberikan perlindungan hukum kesehatan bagi kepentingan rakyat banyak.
Arief Supriono, ST selaku Ketua BPJS Watch Jawa Timur saat ditemui
disela-sela aktivitasnya di Sidoarjo (31/05/2023) menyampaikan bahwa RUU
Kesehatan yang dibahas saat ini dengan menggunakan Omnibus Law. Ini
merupakan UU ketiga yang dibahas dengan menggunakan metode omnibus law
setelah UU Cipta Kerja dan UU Pengembangan dan Penguatan SIstem Keuangan
(P2SK). Ada 15 UU Yang akan disasar oleh RUU Kesehatan ini, diantaranya UU No. 40
tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU No. 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Dalam draft RUU Kesehatan yang
diterima, ada beberapa pasal yang merevisi UU BPJS yang isinya
sangat mengkhawatirkan akan mengganggu pengelolaan jaminan sosial Kesehatan dan
jaminan sosial ketenagakerjaan.
Pertama, Ada pasal yang sudah direvisi
di UU Cipta Kerja dan UU P2SK namun masuk lagi untuk direvisi di RUU Kesehatan. Tercatat UU No. 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit (RS) yang sudah direvisi dalam UU Cipta Kerja, dan
sudan terbit PP No. 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumasakitan,
menjadi UU yang akan dihapus dalam RUU Kesehatan.
Demikian juga UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (UU SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaran
Jaminan Sosial (UU BPJS) yang sudah
direvisi beberapa pasal di UU Cipta Kerja dan UU P2SK akan menjadi bagian yang
direvisi lagi dalam RUU Kesehatan.
Masyarakat akan mengalami kesulitan untuk memahami jaminan sosial karena
harus membaca UU SJSN, UU Cipta Kerja, UU P2SK, dan nantinya UU Kesehatan.
Kedua, Pada RUU Kesehatan ini kedudukan BPJS ditempatkan di bawah Menteri. Hal
ini dapat dilihat pada Pasal 7 ayat (2) yang menyatakan BPJS bertanggung jawab kepada Presiden
melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan
untuk BPJS Kesehatan; dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan.
Lebih
dari itu di Pasal 13 huruf (k), BPJS berkewajiban melaksanakan
penugasan dari kementerian, yaitu penugasan dari Kementerian Kesehatan
oleh BPJS Kesehatan dan penugasan dari
Kementerian Ketenagakerjaan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Saat ini, pada UU BPJS dengan sangat jelas Direksi dan Dewan Pengawas BPJS bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Dan Direksi maupun Dewan Pengawas tidak bisa melaksanakan penugasan dari Menteri. Demikian juga dalam proses pelaporan pelaksanaan setiap program termasuk kondisi keuangan, BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden melalui menteri Kesehatan atau Menteri Ketenagakerjaan, dengan tembusan kepada DJSN.
Ketentuan
ini diatur di Pasal 13 huruf (l) UU BPJS, BPJS berkewajiban melaporkan secara
berkala 6 (enam) bulan sekali langsung kepada Presiden, tanpa melalui Menteri,
dengan tembusan kepada DJSN.
Di RUU Kesehatan, Unsur Dewan Pengawas pun mengalami perubahan komposisi. Pada Pasal 21 ayat (3), komposisi Dewan Pengawas BPJS Kesehatan menjadi 2 orang dari Kementerian Kesehatan, 2 orang dari Kementerian Keuangan, 1 orang unsur Pekerja, 1 orang unsur Pemberi Kerja, dan 1 orang unsur tokoh masyarakat.
Pada Pasal 21 ayat (4), komposisi Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan menjadi 2 orang dari Kementerian Ketenagakerjaan, 2 orang dari Kementerian Keuangan, 1 orang unsur Pekerja, 1 orang unsur Pemberi Kerja, dan 1 orang unsur tokoh masyarakat.
Pada
UU BPJS, komposisi Dewan Pengawas
masing-masing BPJS adalah 2 orang dari unsur
Pemerintah (Kementerian Ketenagakerjaan atau Kementerian Kesehatan, dan
Kementerian Keuangan), 2 orang unsur pemberi kerja, 2 orang unsur pekerja, dan
1 orang unsur tokoh masyarakat.
Penambahan
jumlah Dewan Pengawas dari unsur Pemerintah tersebut, disertai control kuat
Menteri terhadap Dewan Pengawas tersebut. Pasal 21 ayat (9) menyatakan Menteri
Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan dapat meminta laporan anggota Dewan
Pengawas dari unsur pemerintahan bidang kesehatan dan bidang ketenagakerjaan,
dan mengusulkan penggantian (recall) terhadap anggota Dewan Pengawas dari unsur
pemerintahan bidang kesehatan dan bidang ketenagakerjaan kepada Presiden.
Mengacu pada RUU Kesehatan Pasal 34 ayat (2) usulan pemberhentian Dewas Direksi
dilakukan oleh Kemenaker kepada Presiden.
Dalam
UU BPJS, Menteri tidak bisa mengontrol apalagi
mengusulkan pemberhentian Direksi maupun merecall Dewan Pengawas unsur Pemerintah,
karena Direksi dan Dewan Pengawas bertanggung jawab langsung ke Presiden.
Pasal 28 mengamanatkan pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) dilakukan oleh Menteri Kesehatan atau Menteri Ketenagakerjaan bersama Menteri Keuangan atas persetujuan Presiden. Dan Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan menjadi ketua Pansel untuk bidang Kesehatan dan bidang Ketenagakerjaan.
Ketentuan di UU BPJS, Presiden membentuk pansel, dan ketua Pansel bukan Menteri.
Dari perbandingan pasal per pasal di atas dengan sangat jelas RUU Kesehatan akan memposisikan Direksi dan Dewan pengawas BPJS (Ketenagakerjaan dan Kesehatan) di bawah Menteri, dan ini berarti mengembalikan BPJS seperti BUMN yang dikontrol oleh Menteri.
Dari
proses pengangkatan hingga pemberhentian, semuanya dikendalikan Menteri.
Menteri Ketenagakerjaan akan menjadi pengendali utama BPJS Ketenagakerjaan dan Menteri
Kesehatan akan menjadi pengendali BPJS Kesehatan.
"Status Badan Hukum Publik yang diamanatkan Pasal 7 ayat (1) akan menjadi hambar ketika kepentingan public yang diwakili Direksi dan Dewan Pengawas dikendalikan Menteri, dan juga dikendalikan Partai Politik (Parpol)," tegas Arief.
Lebih lanjut Arief menguraikan, bahwa pelaksanaan sistem jaminan sosial
nasional berdasarkan 3 (tiga) asas menurut UU BPJS, yang salah
satunya adalah asas manfaat yaitu menggambarkan pengelolaan yang efisien dan
efektif, akan sulit terlaksana. Demikian juga prinsip penyelenggaraan Sistem
Jaminan Sosial Nasional oleh BPJS akan
terganggu dengan hadirnya pasal-pasal dalam RUU Kesehatan tersebut.
Intervensi dengan klaim penugasan akan mengganggu pelaksanaan Prinsip
Keterbukaan, Prinsip “Kehati-hatian”, Prinsip “Akuntabilitas”, Prinsip “Dana
Amanat”, dan Prinsip “Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan
seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan
Peserta akan terganggu dan akan mendukung penurunan manfaat bagi pekerja dan
keluarganya. Prinsip “Dana Amanah” akan menjadi dana “private” yang dikontrol
Menteri, akan menurunkan imbal hasil program JHT bagi saldo JHT pekerja, serta
imbal hasil program jaminan sosial ketenagakerjaan lainnya yang akan
mempengaruhi kualitas pelayanan seluruh program tersebut. Pengelolaan dana
pekerja oleh BPJS Ketenagakerjaan
yang saat ini sekitar Rp. 630 triliun akan mudah dikendalikan Menteri
Ketenagakerjaan. Partai Politik akan leluasa mengendalikan pengelolaan invetasi
dana pekerja tersebut. Demikian juga aset bersih Dana jaminan sosial (DJS)
Program JKN di BPJS Kesehatan
yang saat ini sudah mencapai Rp. 54,7 Triliun, serta pendapatan iuran JKN yang mencapai
Rp. 143 Triliun (Data akhir Desember 2022), akan rawan digunakan untuk
kepentingan lain di luar program JKN. Dampaknya akan
berpotensi menciptakan defisit pembiaaan JKN yang akan
berdampak langsung pada penurunan pelayanan JKN kepada
masyarakat.
"Beberapa
kasus kerugian pengelolaan dana Jamsostek pada saat masih menjadi BUMN, hingga
dipidananya Direktur Utama PT. Jamsostek pada waktu yang lalu merupakan
gambaran umum ketika pengelolaan dana jaminan sosial sarat dengan kepentingan
pribadi dan politik. Maraknya kasus kegagalan investasi yang dialami BUMN
asuransi seperti Jiwasraya dan PT. ASABRI beberapa waktu yang lalu, merupakan
contoh gagalnya pengelolaan dana peserta ketika Direksi tidak memiliki
kewenangan penuh dan independent. Tidak menutup kemungkinan dana pekerja
di BPJS Ketenagakerjaan akan menjadi
hilang akibat gagal dalam pengelolaannya, gara-gara pasal-pasal di RUU Kesehatan yang merevisi UU BPJS. Kehadiran RUU Kesehatan menjadi ANTITESIS
perjuangan gerakan Serikat Pekerja/Serikat Buruh bersama kelompok Tani,
Nelayan, Mahasiswa, dan kelompok masyarakat lainnya yang tergabung dalam Komite
Aksi Jaminan Sosial (KAJS), " papar Arief.
Sebagai informasi, KAJS di medio 2009 hingga 2011 dengan tegas
memperjuangkan lahirnya UU BPJS sebagai badan
hukum publik dengan kewenangan dan tugas yang independen dan bertanggungjawab
langsung ke Presiden. KAJS menolak pengelolaan jaminan sosial di bawah kontrol
menteri dan berstatus BUMN. BPJS harus bebas
dari intervensi Menteri, kepentingan politik perorangan maupun partai politik.
Bila RUU Kesehatan akan
mengembalikan BPJS seperti BUMN
dan memposisikan Menteri mengontrol BPJS maka RUU Kesehatan menjadi
kemunduran besar bagi cita-cita jaminan sosial yang berkualitas, dan RUU Kesehatan menjadi
penghianatan besar atas perjuangan KAJS.
"Atas
permasalahan yang akan timbul dengan revisi UU BPJS yang masuk pada RUU Kesehatan dan untuk memastikan
peningkatan manfaat jaminan sosial ketenagakerjaan dan Kesehatan, serta
keamanan dan peningkatan investasi dana kelolaan di BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan,
maka sudah seharusnya Baleg DPR RI dan Pemerintah mengeluarkan UU BPJS dari RUU Kesehatan," harap Arief. (er)
Belum ada Komentar untuk "Catatan Kritis BPJS Watch Jatim Atas RUU Kesehatan"
Posting Komentar