Neoliberalisme
Refleksi 64 Tahun Kelahiran Pancasila
"Negara
Dalam Pusaran Neoliberalisme"
Pancasila dirasa penting diperbincangkan kembali
ketika jaman sudah semakin bergeser meninggalkan semangat kolektivitas dan
kemandirian. Melalui momentum kelahiran Pancasila, pada 6 Juni 2009 di kediaman
Prof. Basuki Reksowibowo (Guru Besar FH Unair) di daerah Kenjeran, Surabaya,
Pancasila kembali direfleksikan dalam perspektif kekinian. Acara ini disi
dengan Kuliah Kebangsaan yang disampaikan oleh Drs. Soedaryanto di tengah
mereka yang hadir dari berbagai latar belakang (dosen, mahasiswa, aktivis dan
alumni GMNI, pengusaha, warga pemegang surat ijo, LSM, dan lain-lain).
Memulai paparannya,
Soedaryanto menjelaskan bahwa Liberalisme adalah paham yang menjunjung tinggi
kebebasan individu dan menempatkan kebebasan individu di atas segalanya, di
atas kemerdekaan bangsa dan kolektivisme bangsa. Intinya baik bangsa,
komunitas, ataupun negara tidak boleh mengurangi kebebasan individu. "Jadi
kalau kebebasan individu dilepas, itu nanti akan menciptakan keseimbangan sendiri.
Keseimbangan pada batas-batas mana kebebasan akan saling
antagonisme/bertentangan dan akan berhenti pada titik tertentu. Sebenarnya
Liberalisme itu bukanlah konsep ekonomi. Liberalisme adalah konsep mengenai
manusia. Pada prinsipnya manusia itu dilahirkan bebas. Karena dilahirkan bebas
maka kebebasan individu dijunjung tinggi, " kata Mas Dar, panggilan akrab
Soedaryanto.
Melanjutkan paparannya,
Soedaryanto menyampaikan bahwa dalam bidang ekonomi, liberalisme melahirkan
ekonomi liberal, dimana dalam pergolakan mencari nafkah, manusia tidak boleh
diatur dan harus bebas melakukan apa saja termasuk bebas mencari keuntungan
sebesar-besarnya dan bebas membunuh pesaing-pesaing ekonominya. Contoh kecil
misalnya ada tetangga kita yang mempunyai toko kelontong, sementara ada yang
mau buka mini market di dekat toko kelontong itu yang menjual kurang lebih
barang kebutuhan yang sama. Dalam konteks ekonomi liberal, persaingan dengan
cara demikian adalah sebuah keharusan. Kalaupun nantinya toko kelontong
tersebut bangkrut dan jatuh miskin karena kalah bersaing, itu adalah
kesalahannya sendiri. Artinya memang pasar sudah menghendaki demikian.
"Di Pembukaan UUD 45
jelas disebutkan bahwa kemerdekaan bukanlah hak individu tetapi kemerdekaan
adalah hak segala bangsa. Artinya kemerdekaan bangsa Indonesia lebih diutamakan
daripada kemerdekaan individu. Dalam konteks ini, kebebasan individu diantaranya
adalah kebebasan berpendapat dan berserikat, namun dalam kerangka kepentingan
umum. Dalam kehidupan nyata, liberalisme ekonomi adalah praktek yang kejam.
Ambil contoh Indonesia. Menurut data dari PBB, lebih dari separuh rakyat
Indonesia berpenghasilan $ 2 per hari. Artinya lebih dari separuh rakyat
Indonesia adalah miskin dalam kategori internasional. Jadi bisa dibayangkan,
dalam kondisi demikian, rakyat Indonesia didorong ikut berlomba-lomba atau
bersaing dalam sistem ekonomi liberal. Untuk mencari makan saja susah. Bisa
dipastikan, mungkin 2/3 rakyat Indonesia akan tersisih dalam pertarungan
ekonomi demikian. Dan akan terjadi pembiaran, bagi yang kalah akan tersisih dan
yang menang akan menguasai, " terang Mas Dar.
Tentang Neoliberalisme
Dalam sesi diskusi, salah seorang peserta menanyakan tentang neoliberalisme. Jawab Mas Dar, "Kalau liberalisme itu orang akan menjadi binatang ekonomi pada saat berkeliaran di bidang ekonomi, kalau neoliberalisme itu bermaksud untuk memperluas konsep binatang ekonomi tersebut. Sehingga manusia akan dijadikan sebagai binatang ekonomi dalam segala bidang yaitu pelaku neolib di bidang politik, ekonomi, pendidikan dan lain-lain dengan pendekatan-pendekatan untung-rugi. Inilah yang kemudian menjadi awal komersialisasi di segala bidang. Seperti komersialisasi pendidikan, yang menghasilkan pendidikan mahal, yang sebenarnya telah berlangsung sejak jaman Orde Baru. Yang paling parah adalah komersialisasi merambah pada lapangan politik. Seperti dalam Pemilu Legislatif kemarin, korban komersialisasi politik adalah para caleg. Semua pendekatan atau komunikasi didasarkan pada untung-rugi. Ini adalah bentuk dari neoliberalisme. Pada nantinya, akan lebil sedikit/segelintir orang akan menguasai. Menurut saya, melihat praktek demokrasi seperti saat ini yang penuh dengan komersialisasi, sebaiknya Presiden/Wapres cukup satu kali masa jabatan saja. Karena dengan menduduki jabatan untuk periode berikutnya lagi, sangat berpotensi besar untuk memperkuat otoritas oligarki dalam segala bidang baik politik maupun ekonomi. Dikhawatirkan akan semakin mengorbankan kepentingan rakyat, bangsa dan negara. "
"Untuk itulah,
bagaimanapun politik harus tetap menjadi keprimeran (keutamaan). Pemilu adalah
satu-satunya kesempatan konstitusional untuk merebut kekuasaan. Sebagaimana
istilah ekonomi dikenal produsen dan konsumen. Saat ini rakyat adalah konsumen,
sementara elit adalah produsen. Calon-calon pemimpin bangsa diproduksi oleh
elit, sedangkan rakyat hanya bisa memilih calon-calon pemimpin yang dihasilkan
dari konspirasi elit. Sebenarnya, pada prinsipnya rakyat adalah produsen yang
mempunyai kesempatan untuk menghasilkan calon-calon pemimpinnya. Sehingga
calon-calon pemimpin tersebut lahir dari kehendak rakyat bukan dari kemauan
elit. Bila ini terjadi, apabila terpilih nantinya, akan lebih mengutamakan
kepentingan dan kelangsungan hidup rakyat banyak. Saat ini sudah tidak
dibutuhkan sekedar nasionalisme bunyi-bunyian. Yang dibutuhkan sekarang adalah
nasionalisme tindakan artinya melakukan tindakan semata-mata untuk kepentingan
bersama (rakyat dan bangsa) tanpa memikirkan untung atau ruginya. Misalnya
kalau pelayanan publik bisa diselesaikan dalam 1 hari, mengapa harus 1 minggu
atau 1 bulan dengan banyak pertimbangan yang tidak perlu. Kalau membangun jalan
atau jembatan bisa dilakukan dalam 3 bulan, mengapa harus direncanakan 1 tahun,
lanjut Mas Dar.
Bahan Renungan
Di akhir pemaparannya,
Soedaryanto mengatakan, "Tampaknya saat ini dorongan kebutuhan untuk
mengubah Pembukaan UUD 1945 sangatlah kuat. Karena apabila kepentingan global
akan masuk lebih dalam, sementara Pembukaan UUD 1945 belum berubah, maka suatu
saat akan muncul titik balik dari rakyat. Maka dari itulah, sebelum rakyat
sadar dan bangkit, dilakukanlah usaha-usaha mengamandemen Pembukaan UUD 1945.
Apabila ini terjadi maka prinsip liberalisme yaitu menjunjung tinggi kebebasan
individu akan menjadi prinsip penyelenggaraan negara. Sehingga Pancasila
sebagaimana termaktub dalam alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945 akan kehilangan
rohnya. Karena roh daripada alenia ke-4 (Pancasila) terletak pada alenia 1,2
dan 3 Pembukaan UUD 1945. Itu adalah satu kesatuan. Bila hal itu terjadi,
akhirnya melahirkan pengertian bahwa Pancasila adalah dasar perilaku individu.
Sehingga Pancasila bukan lagi dalam pengertian dasar negara, dasar perilaku
negara, landasan daripada penyelenggaraan negara. Disinilah, Pancasila akan
kehilangan ke-khas-annya. Struktur kekuasaan negara menjadi tidak wajib untuk
bekerja dalam penyelenggaraan negara berdasarkan Pancasila karena telah
diserahkan kepada masing-masing individu. Disinilah kepentingan global akan
semakin masuk lebih dalam." (#)
Tulisan ini pernah dimuat di majalah NUANSA KEBANGSAAN Edisi I/Juni 2009
Belum ada Komentar untuk "Neoliberalisme"
Posting Komentar