-->
Loading...

Komunitas Ngobrol Pintar (NGOPI) Peringati 25 Tahun Reformasi



Surabaya, 45news.id - Tahun 1998 menyimpan kenangan yang sangat mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia. Badai krisis moneter yang menyapu negara-negara, khususnya di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia menjadi pintu masuk untuk melakukan koreksi-koreksi terhadap jalannya pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa sejak tahun 1967. Meroketnya harga-harga kebutuhan, memaksa rakyat untuk bergerak turun ke jalan. Demonstrasi terjadi dimana-mana. Bentrokan demonstran yang didominasi oleh mahasiswa dengan apparat keamanan menjadi pemandangan sehari-hari khususnya di ibukota Jakarta. Gerakan terus bergulir ke kota-kota lain di seluruh Indonesia.

Terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden RI pada Sidang Umum MPR 1998 dan terbentuknya Kabinet Pembangunan VII ternyata tidak mampu berbuat banyak untuk mengatasi gejolak sosial yang terjadi secara nasional. Tuntutan gerakan mahasiswa dan rakyat semakin mengarah agar Presiden Soeharto turun dari kursi kepresidenan dan reformasi disegala bidang kehidupan salah satunya adalah penegakan demokratisasi di Indonesia. Pada 21 Mei 1998, akhirnya perjuangan itu mencapai hasilnya. Gerakan mahasiswa, rakyat dan tokoh-tokoh masyarakat membuat Soeharto akhirnya mengambil keputusan penting yaitu mengundurkan diri. Pasca Soeharto lengser setelah kurang lebih 32 tahun berkuasa, membawa Indonesia memasuki babak baru sejarahnya yaitu era demokratisasi.

Kini, setelah 25 tahun Orde Baru tumbang, dari kalangan pro-demokrasi melihat bahwa jalannya reformasi harus terus dikawal agar tetap pada cita-cita saat awal dicetuskan yaitu Indonesia yang demokratis dan penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).

Di Surabaya, sekelompok aktivis pro demokrasi yang tergabung dalam Ngopi (Ngobrol Pintar) menggelar Sarasehan Peringatan 25 tahun Reformasi di Hotel Rock Jl. Barata Jaya Surabaya pada Sabtu (18/03/2023). Hadir sebagai narasumber/pemantik diskusi yaitu Ermawan Wibisono (Surabaya), Yodhisman Surata (Bandung) dan Henky Kurniadi (Budayawan/Surabaya). 

Pada paparannya, Ermawan Wibisono menjelaskan bahwa  reformasi di Indonesia masih belum menunjukkan tanda keberhasilan atau sesuai tuntutan awal reformasi, karena tidak adanya konsep yang jelas. Hal ini dibuktikan dengan masih maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di lembaga negara, lemahnya penegakan hukum, serta munculnya oligarki pemerintahan di daerah setelah lahirnya pilkada. Juga angin segar reformasi juga telah dirasakan dampak positifnya oleh masyarakat, yaitu bebas berpendapat, berserikat dan berkumpul, serta melahirkan lembaga-lembaga atau badan negara yang menguatkan sistem hukum dan demokrasi di Indonesia.

“Kalau gagal sih tidak seratus persen, tapi masih ada sisi-sisi positif yang bisa kita ambil untuk bisa masyarakat ini memanfaatkan untuk mengawasi dan mengontrol jalannya pemerintahan. Sekecil apapun baik kepala desa, wali kota, bupati, kita bisa memanfaatkan saluran-saluran itu,” jelas Ermawan.

Narasumber ke-2 yaitu Yodhisman Surata menyatakan ada banyak pencapaian bangsa Indonesia pasca 25 (dua puluh lima) tahun reformasi, yang memungkinkan rakyat menjadi pemimpin dan mewujudkan kesejahteraan yang diharapkan. Namun, ada banyak tuntutan reformasi yang tidak terlaksana, terlebih berkaitan dengan komitmen para pemimpin serta elemen masyarakat yang seharusnya mengawal dan menjalankan agenda reformasi untuk kebaikan seluruh rakyat.

“Kalau menurut saya yang paling melenceng adalah komitmen. Jangan-jangan bukan hanya yang di atas komitmennya yang melenceng, di kita (aktivis) juga. Ya kembalikan lagi niat kita dulu apa, semangat kita apa?,” katanya.

“Ini fase terakhir, kalau lewat ini, kita menunggu siklus 25 tahun lagi mungkin kita sudah di bawah tanah. Makanya saya dan teman-teman mendorong, ayo kita ingatkan terus masyarakat. Kalaupun tidak kita yang menikmati, pasti generasi di bawah kita. Dan kita tidak berharap generasi di bawah kita tidak sesulit kita hidupnya,” tegas Yodhisman.

Narasumber ke-3, Henky Kurniadi, memberikan catatan kritis bahwa buah reformasi berupa pemilu yang tidak banyak membawa manfaat bagi rakyat. Biaya pemilu berbiaya tinggi adalah salah satunya. Seharusnya, sistem pemilu langsung yang dijalankan secara manual harus diubah menjadi sistem elektronik yang lebih murah, transparan, dan cepat. Rekruitmen politik berbiaya besar seperti ini menjadi salah satu penyedot anggaran negara terbesar yang semestinya dapat dialokasikan untuk kesejateraan rakyat.

“Pemilu kita harus diubah. Salah satunya, masalah besar itu rekruitmen politik itu berbiaya besar. Karena, salah satunya adalah kita itu masih menggunakan sistem manual, bukan elektronik. Seharusnya sistem elektronik. Dan yang sering dikumandangkan, yang tidak setuju dengan sistem elektronik adalah karena mudah dijebal, mudah dibobol. Kalau menurut saya itu jauh lebih mudah dibobol kalau sistem manual daripada elektronik,” jelas Henky.

Henky juga menyampaikan, mendekati Pemilu 2024, agar semua agenda reformasi yang belum tercapai hingga kini, harus dipastikan dapat dijalankan oleh siapapun pemimpin bangsa yang nanti terpilih. Masyarakat diajak untuk turut mengawasi jalannya Pemilu 2024, agar tidak ada kepentingan segelintir elit yang dikedepankan, termasuk kepentingan kekuatan asing yang dapat mengendalikan dan mempengaruhi hasil pemilu.

Peserta yang hadir juga sangat antusias. Mereka juga turut memberikan pernyataan-pernyataan sebagai bentuk saran dan kritik atas keberlangsungan pemerintahan nasional maupun daerah di era reformasi ini. (er)

 

 

Belum ada Komentar untuk "Komunitas Ngobrol Pintar (NGOPI) Peringati 25 Tahun Reformasi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel